Tanpa aba-aba, Martin bersama hampir seluruh warga desa mengambil cangkul. Pukul 10 malam itu, mereka bergegas menggali kanal selebar 1 meter. Saluran itu akan memisahkan lahan gambut yang terbakar dengan permukiman. Mereka berharap api tidak menerjang desa karena terpisah kanal.
Jilatan api memang terlihat masih jauh. Akan tetapi, Martin tahu bahwa kebakaran sudah dekat. Api sudah merayap di bawah tanah melahap tumpukan gambut. Pembuatan kanal darurat itu rupanya ampuh. Wilayah desa yang dilalap si jago merah hanya sebagian.
“Seorang warga meninggal dunia dalam peristiwa tersebut,” tutur Martin, kini 68 tahun, ketika diwawancarai pada pembuka September 2023.
Martin melanjutkan kenangan 41 tahun silam. Ia tidak percaya melihat sekeliling desa, sepekan setelah api padam. Dasar danau yang merupakan lahan basah atau gambut, orang-orang setempat menyebutnya rawa, habis diamuk api. Nyaris seluruh tepi Danau Melintang yang luasnya 11 ribu hektare itu berubah jadi abu.
Kebakaran pada 1982 melanda banyak lahan di penjuru Kalimantan dan Sumatra. Bencana itu merupakan yang terbesar, diikuti peristiwa serupa pada 1997. Menurut catatan Bank Dunia, kebakaran pada 1997 saja melanda 8 juta hektare lahan di Kalimantan dan Sumatra. Majalah Times melaporkan, kerugiannya mencapai USD 8 miliar atau setara Rp 120 triliun sekarang.
Bencana 1997 dengan 1982 terjadi pada musim kering yang panjang. Di Kalimantan Timur, pada 1982-1983, hujan nyaris tidak turun sepanjang 10 bulan. Catatan curah hujan di ibu kota provinsi, musim kemarau dimulai pada Juni 1982. Hujan turun hanya satu bulan yaitu Desember 1982. Kekeringan berlanjut hingga April 1983.
“Kebakaran pada 1982–1983, termasuk 1997, hampir melenyapkan hutan kahoi di kampung ini,” jelas Martin.
Hutan yang Martin maksud terletak 3 kilometer dari Kampung Minta. Kampung ini dihuni penduduk bersuku Kutai. Untuk mencapai Kampung Minta, harus melewati jalur darat selama lima jam dari Samarinda. Tiga jam pertama adalah perjalanan dari Samarinda menuju ibu kota Kecamatan Muara Muntai di Kutai Kartanegara. Bisa pakai mobil maupun sepeda motor. Jalur tersebut, terutama dari Tenggarong menuju pertigaan Muara Muntai, sebagian besar berlubang. Akan tetapi, dari pertigaan jalan poros Samarinda-Kutai Barat menuju Muara Muntai, semuanya sudah cor beton.
Dari Kecamatan Muara Muntai, Kampung Minta bisa diakses melalui jalur darat dengan kendaraan roda dua. Perjalanan ini hanya bisa dilalui dengan sepeda motor. Hampir semua jalur berupa jembatan kayu sepanjang 20 kilometer. Sekitar 5 kilometer sisanya adalah jalur tanah seperti jalan setapak. Total waktu mengendarai sepeda motor tersebut sekitar satu setengah jam. Kampung Minta juga bisa diakses melalui jalur Sungai Mahakam. Dari Muara Muntai, perlu waktu satu jam menggunakan perahu ces.
Kampung Minta berdiri di tepi Sungai Mahakam. Kampung ini nyaris tidak memiliki daratan karena langsung terhubung dengan Danau Melintang. Seluruh jalan lingkungannya berupa jembatan kayu selebar 4 meter yang terbuat dari kayu ulin. Warga yang bergotong-royong membangunnya. Setiap 1 kilometer jembatan setinggi 1,3 meter memerlukan biaya sekitar Rp 1 miliar. Pada 2023, sejumlah ruas jembatan di Kampung Minta tersebut sudah dicor beton. Dengan demikian, kendaraan roda dua tidak menimbulkan kebisingan seperti ketika melintas di jembatan kayu.
Sekitar 3 kilometer dari Kampung Minta, terdapat hutan seluas 3.000 hektare. Beraneka pohon tumbuh di sana. Vegetasi yang paling banyak adalah kahoi (Shorea balangeran). Pohon ini bunganya seperti kipas kecil. Kahoi merupakan satu dari sedikit pohon berkayu keras yang tumbuh di lahan gambut. Kahoi berasal dari famili yang sama dengan meranti yaitu Dipterocarpaceae. Makanya, kahoi dijuluki meranti dari tanah rawa karena hidup di lahan gambut.
Pohon kahoi dewasa bisa menyentuh ketinggian 20–25 meter. Tinggi batang kahoi yang bebas cabang mencapai 15 meter. Kayunya tergolong kuat dengan berat jenis 0,86 sehingga cocok untuk bahan bangunan (Martawijaya et al., 1989).
Kayu yang kuat membuat kahoi memiliki nilai ekonomi. Kualitas kayu kahoi setara dengan bengkirai. Warga Kampung Minta, contohnya, memperoleh material untuk membangun rumah dari hutan kahoi di dekat desa. Kayu kahoi yang dijadikan bahan bangunan bisa tahan sampai 20 tahun. Kayu kahoi yang diambil dari pohon yang roboh disebut lebih kuat ketimbang menebang tegakan pohon.
Martin ingat, dari 100 rumah di Kampung Minta sebelum 1982, hampir seluruh dinding dan lantainya terbuat dari kayu kahoi. “Hanya tiang (pilar untuk fondasi rumah panggung) yang menggunakan kayu ulin,” jelas Martin yang kini bekerja di kantor Kampung Minta. “Sekarang, tersisa beberapa rumah yang masih menggunakan kayu kahoi,” sambungnya.
Kebakaran besar pada 1982 dan 1997 telah menyebabkan populasi pohon kahoi di Kalimantan menurun drastis. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), Shorea balangeran termasuk spesies langka yang berisiko punah dalam waktu dekat. Padahal, pohon kahoi dapat tumbuh dengan cepat. Hanya dalam dua tahun, tinggi pohon bisa mencapai 1 meter.
Menyelamatkan yang Tersisa Sampai hari ini, hutan kahoi di Kampung Minta sekitar 3.000 hektare berdasarkan pengukuran sebuah organisasi nirlaba pada 2022. Hutan kahoi di Kampung Minta menjadi sedikit yang tersisa di Kalimantan Timur.
Melalui pendampingan organisasi tadi, Kampung Minta menyadari pentingnya hutan tersebut bagi kampung mereka. Kahoi merupakan vegetasi endemik yang mampu bertahan di lahan gambut. Kemampuan adaptasi pohon ini sangat baik sehingga mampu membentuk kondisi awal lahan gambut yang terdegradasi. Lahan yang rusak, ketika ditumbuhi kahoi, perlahan bisa membaik.
Kahoi juga menjadi sumber air sekaligus menekan pertumbuhan gulma di lahan gambut. Lahan basah dengan simpanan air dan sedikit gulma itu sangat disenangi ikan. Hutan tersebut adalah tempat memijah bagi ikan gabus, sepat siam, dan lain-lain. Dengan demikian, keberadaan kahoi sangat berhubungan dengan hasil tangkap nelayan di Kampung Minta.
Martin yang kini menjadi anggota lembaga adat di Kampung Minta mengatakan, hutan kahoi juga menjadi habitat sejumlah fauna. Payau, hewan sejenis kijang yang makin langka, sering mencari makan di hutan tersebut. Payau-payau tersebut datang dari bukit di sebelah hutan kahoi. Sejumlah burung seperti enggang dan bangau kerap dijumpai warga. Enam pohon kahoi juga menjadi sarang lebah yang menghasilkan madu.
Subhan, petinggi (kepala desa) Kampung Minta, bercerita bahwa masyarakat kemudian menggagas perlindungan hutan kahoi pada 2013. Ia belum menjadi petinggi waktu itu. Warga Kampung Minta disebut khawatir apabila pohon kahoi di desa habis ditebang. Bukan hanya kehilangan sumber memperoleh bahan bangunan, tangkapan nelayan bisa menurun drastis.
Ia menambahkan bahwa melalui pendampingan GIZ Propeat, sebuah peraturan kampung mulai disusun. Selain sangat penting bagi penduduk, keberadaan hutan tersebut cukup rentan. Hutan kahoi di Kampung Minta masuk kawasan areal penggunaan lain (APL). Suatu waktu, kawasan ini bisa saja diterbitkan izin usaha karena bukan kawasan yang dilindungi.
“Akhirnya, dalam sebuah musyawarah, seluruh warga satu suara. Peraturan kampung yang intinya melarang mengambil kayu di hutan kahoi disahkan,” jelas Subhan yang baru menjalani periode pertamanya sebagai petinggi.
Keinginan masyarakat melindungi hutan kahoi di Kampung Minta sangat beralasan. Walaupun mampu memulihkan diri dari kebakaran besar, pohon kahoi kini terancam penebangan liar. Di Kampung Minta, warga setempat mengambil kayu kahoi secukupnya. Mereka membawa batang kahoi menggunakan perahu hanya untuk bahan bangunan. Para penebang liar justru berbeda. Mereka kebanyakan dari luar desa. Sebelum peraturan kampung disahkan, aktivitas ini merajalela sehingga menyebabkan populasi kahoi turun drastis.
“Peraturan kampung mengatur sanksi bagi mereka yang berani mengambil kayu di hutan kahoi,” jelas Subhan.
Tunggul Butarbutar dari GIZ Propeat menyampaikan hubungan mengenai peraturan Kampung Minta dengan kelembagaan yang mengelola lahan gambut. Pada dasarnya, kata dia, kawasan hidrologi gambut (KHG) masuk status kawasan yang berbeda-beda. KHG bisa di atas areal penggunaan lain (APL) seperti di Kampung Minta, hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan lindung, hingga kawasan konservasi. Di samping itu, kawasan KHG sebagian besar lintas kabupaten.
“Kondisi ini mengharuskan banyak pihak terlibat dengan berbagai macam tugas pokok dan fungsinya. Demikian halnya program dan kepentingan seperti di sektor perkebunan, kehutanan, perikanan, pertanian, pemberdayaan masyarakat desa, dan sektor lainnya,” terang Tunggul.
Di satu sisi, banyaknya pihak yang terlibat dengan sumber daya masing-masing seperti pendanaan, pengetahuan, posisi politik, dan lainnya, merupakan aset berharga. Pengelolaan KHG, terang Tunggul, memang memerlukan partisipasi multipihak. Di sisi lain, potensi ini perlu dikelola dengan baik agar tugas pokok dan fungsi, program, dan sumber daya para pihak tidak tumpang tindih.
“Karena bisa jadi pula, ada pihak yang ditinggalkan dalam pengelolaan KHG,” jelas Tungul.
Lewat pendampingan dari GIZ Propeat, Kampung Minta menjadi lokasi studi banding desa-desa yang lain. Sejumlah desa yang memiliki lahan gambut di Kalimantan Utara bahkan sudah datang ke Kampung Minta. Mereka belajar cara mengelola hutan kahoi.
Di Kampung Minta, upaya merehabilitasi hutan kahoi mulai berjalan sejak Agustus 2020 melalui pendampingan sebuah organisasi nirlaba. Kelompok pemuda karang taruna Kampung Minta menanam 2.000 bibit pohon beluma (Syzigium sp) dan kahoi. Mereka menanam di lahan seluas kurang lebih 3 hektare. Pertumbuhan pohon terus dipantau lewat metode geotagging memanfaatkan aplikasi Geotag. Koordinat, jenis, tinggi, keliling, dan foto pohon dapat dimonitor secara virtual.
Walaupun demikian, upaya tersebut bukannya tanpa tantangan. Sepanjang tiga tahun belakangan, sejak 2020, banjir di Danau Melintang kerap berdurasi panjang. Air menggenangi hutan kahoi di Kampung Minta hampir sepanjang tahun. Kondisi tersebut menyebabkan rencana penanaman di lahan gambut terhambat.
GIZ Propeat bersama warga lantas menyiasatinya. Mereka mencoba menanam di atas napung, semacam kumpai atau rumput tebal yang mengambang di lahan gambut. Napung sebenarnya material organik pembentuk gambut juga. Lewat cara ini, diharapkan ketika permukaan air turun, bibit kahoi yang ditanam di atas napung "mendarat" di permukaan lahan gambut dan bertahan hidup.
“Metode ini adalah hasil pengamatan masyarakat terhadap kondisi di lapangan. Inovasi tersebut menjadi adaptasi menghadapi kondisi banjir sebagai akibat dari perubahan iklim,” tutup Tunggul dari GIZ Propeat. (*)
Laporan mendalam (indepth report) ini ditulis pada akhir 2023. Tersaji berkat kerja sama kaltimkece.id dengan Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Peatland Rehabilitation and Management (PROPEAT).
Artikel yang ditampilkan di kandela.kaltimkece.id merupakan hasil kerja jurnalistik yang mengikuti Kode Etik Jurnalistik menurut Undang- Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Sumber literasi ialah buku, lansiran kantor berita resmi, jurnal, hasil penelitian, maupun arsip yang tidak masuk kategori dikecualikan sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi. Seluruh tulisan selalu didasari sumber yang jelas.