Muara Enggelam adalah desa yang telah berumur ratusan tahun. Pada zaman penjajahan Jepang, pasukan Dai Nippon pernah menjatuhkan bom di desa tersebut. Permukiman tersebut luasnya 10 hektare sekarang. Tepat di pertemuan Sungai Enggelam dengan Danau Melintang, Muara Enggelam dikelilingi lahan gambut atau rawa. Tidak ada daratan sejengkal pun di sana.
Desa ini dihuni 749 jiwa dengan 192 kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya dari Suku Kutai dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Desa Muara Enggelam hanya bisa diakses melalui jalur air. Tidak ada jalan darat ke sana. Dari Samarinda, desa ini dicapai dengan waktu tempuh sekitar empat jam. Tiga jam perjalanan darat dari Samarinda-Tenggarong-Kota Bangun/Muara Muntai. Dari Kecamatan Kota Bangun atau Muara Muntai, perlu sejam berperahu ke Muara Enggelam.
“Bisa dibilang, kami hidup sendirian di sini. Makanya, semua harus mandiri dan gotong royong demi bertahan hidup,” jelas Syahrul, sekretaris Desa Muara Enggelam, yang mendampingi Madi bin Irot selaku kepala desa pada saat diwawancarai.
Hidup sendirian di luasnya danau Melintang, desa ini mengandalkan sistem komunal. Semuanya harus mandiri. Pertama, untuk urusan listrik. Aliran listrik dari PLN sangat sukar menembus desa. Setrum dari PLN memerlukan jaringan sepanjang puluhan kilometer yang harus dibangun di atas rawa. Biayanya tentu saja amat mahal. Selama puluhan tahun, warga hanya menikmati listrik dari mesin generator set yang berbiaya mahal. Pasokan listrik juga terbatas, dari petang hingga malam.
Semua berubah pada 2014. Pemkab Kutai Kartanegara memberi bantuan 150 unit panel surya. Penduduk segera bergotong royong mendirikan bangunan panggung seluas 20 meter x 20 meter. Sebuah rumah khusus juga dibangun untuk baterai dan regulator.
Teknisi datang untuk menginstalasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) tersebut. Menurut Madi selaku kepala desa, teknisi mendampingi badan usaha milik kampung hingga PLTS beroperasi total. PLTS komunal itu akhirnya berfungsi pada 2015.
Pada garis waktu yang seragam, Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) lewat proyek Energizing Development (EnDev) Indonesia memfasilitasi teknis pengelolaan PLTS. GIZ menyediakan modul panduan pengoperasian dan pemeliharaan sistem PLTS off-grid. Modul tersebut berisi panduan yang menjamin keamanan dan keandalan sistem. Termasuk pula, panduan agar umur pakai komponen meningkat, operasional yang lebih efisien, risiko kerusakan yang kecil, dan memahami langkah ketika terjadi kerusakan.
Dari PLTS komunal ini, setiap rumah di Desa Muara Enggelam mendapat jatah 42 kilowatt hour dengan harga Rp3.000 per hari. Pemerintah desa lantas menyusun peraturan desa tentang pengelolaan PLTS. Tarif yang disepakati adalah Rp100 ribu per bulan. Lewat patungan secara komunal, persoalan listrik desa pun terselesaikan.
Air minum adalah masalah selanjutnya. Meskipun dikelilingi perairan, air dari Danau Melintang dan Sungai Enggelam tidak bisa diminum langsung. Penyebabnya yaitu perairan tersebut merupakan lahan basah gambut. Menurut penelitian GIZ dalam Studi Keanekaragaman Hayati Akuatik Mahakam Tengah-Kalimantan Timur (2021, hlm 33), kadar keasaman atau pH di muara Sungai Enggelam adalah 5,5 atau cukup asam.
Warga desa akhirnya bergantung pasokan air minum dari ibu kota Kecamatan Kota Bangun dan Muara Muntai. Setiap hari, sebuah perahu mengangkut air minum dalam kemasan 19 liter (biasa disebut galon). Air minum itu dijual Rp10.000 sampai Rp15.000 per galon.
Kebergantungan air bersih dari desa lain segera disadari pemerintah desa. Mereka berinisiatif membangun instalasi pengelolaan air minum komunal pada 2013. Bermodal pompa dan alat penjernih buatan Jerman, sebuah depo isi ulang air mineral dibangun. Instalasi tersebut mengambil bahan baku air dari Sungai Enggelam. Air dijernihkan terlebih dahulu dengan kaporit. Kadar asamnya dinetralkan dengan teknologi khusus kemudian dikemas dalam tabung plastik galon.
Depo isi ulang yang dikelola badan usaha milik Desa Muara Enggelam mampu memproduksi 50 sampai 100 galon per hari. Harganya Rp3.000 per galon atau jauh lebih murah ketimbang produk serupa dari luar desa. Pengeluaran warga untuk membeli air minum bisa ditekan. Satu masalah lagi terpecahkan.
Fasilitas kesehatan menjadi persoalan lanjutan yang dihadapi desa tanpa daratan ini. Meskipun memiliki puskesmas serta layanan BPJS, warga harus keluar uang banyak apabila berobat ke kota. Rumah sakit rujukan terdekat berada di Kecamatan Kota Bangun. Waktu tempuhnya dengan berperahu sekitar dua jam. Biaya sekali jalan bisa ratusan ribu rupiah. Sementara bila dirujuk ke rumah sakit kelas A di Samarinda, sekali jalan bisa sampai jutaan rupiah.
Pada 2015, seorang janda tua di Desa Muara Enggelam wafat karena sakit. Setelah ditelusuri pemerintah desa, perempuan yang sakit itu tidak memperoleh layanan kesehatan yang memadai. Penyebabnya, keluarganya tidak memiliki uang untuk membawa pasien ke rumah sakit.
“Warga akhirnya mengusulkan iuran kesehatan. Kami mulai dengan Rp5.000 kemudian menjadi Rp10.000 per KK per bulan,” terang Madi.
Dana patungan tersebut dipakai bila ada warga yang harus berobat ke rumah sakit. Warga yang berobat ke RSUD Dayaku Raja di Kota Bangun menerima bantuan Rp400 ribu. Sementara bila ke RSUD AM Parikesit di Tenggarong, mendapat Rp800 ribu. Jumlah bantuan menjadi Rp1 juta apabila berobat ke Samarinda.
“Sekarang, kami punya saldo Rp15 juta. Dari iuran tersebut, kami juga membeli sebuah long boat untuk transportasi pasien,” terangnya.
Internet, Air Bersih, dan Jamban
Satu per satu persoalan di Desa Muara Enggelam memang berhasil diuraikan. Walaupun demikian, warga masih menghadapi beberapa kesulitan. Koneksi internet adalah satu di antaranya. Sinyal telepon di desa ini berasal dari menara internet (base transceiver station/BTS) yang berdiri belasan kilometer di desa tetangga. Akibatnya, jaringan internet di Muara Enggelam payah. Hanya di titik-titik tertentu tersedia. Itu pun, lelet minta ampun.
Pada 2020, pemerintah melalui program nasional berencana membangun BTS di Muara Enggelam. Sayangnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika diterpa masalah. Menara yang didambakan itu gagal dibangun.
“Padahal, kami sudah menyiapkan lahannya. Tim dari provider internet juga telah menyurvei,” jelas kepala desa.
Sanitasi menjadi persoalan berikutnya yang belum selesai di Desa Muara Enggelam. Desa ini pernah menerima program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat atau Pamsimas. Program dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2019 tersebut berupa pengolahan air sungai menjadi air bersih. Lewat Pamsimas, rumah instalasi pengolahan air (IPA) dibangun di Muara Enggelam.
Mesin penyedot air, bak untuk mengendapkan air, penjernih, hingga penyaring, mulai dipasang. Selain fasilitas dari program Pamsimas, pemerintah desa mengeluarkan Rp500 juta dari APBDesa. Dana tersebut dipakai untuk membeli dua tandon, pengadaan pipa jaringan, keran, hingga meteran air.
Sayangnya, jelas Madi selaku kepala desa, program ini tidak berjalan lancar. Masalahnya adalah teknisi yang dikirim untuk menginstalasi IPA tidak mendampingi hingga selesai. Hal itu disebut berbeda dengan instalasi PLTS yang lebih dulu beroperasi. Teknisi mendampingi pengelola PLTS mulai uji coba hingga seluruh sistem benar-benar berjalan tanpa masalah.
Sementara itu, teknisi IPA pergi setelah instalasi terpasang dan uji coba sebulan. Hanya dalam beberapa pekan, mesin penyedot air macet. Penyebabnya adalah penyaring di mulut pompa di IPA tersumbat kotoran.
“Sampai lengket mesinnya. Akhirnya, warga yang tinggal di rumah panggung kembali menggunakan mesin pompa pribadi untuk menyedot air dari sungai,” terang Marsyah selaku kepala Seksi Pemerintahan, Pemerintah Desa Muara Enggelam. “Warga yang tinggal di rumah rakit masih mengambil air sungai langsung,” sambungnya.
Sebagian besar hunian di Desa Muara Enggelam memang masih rumah rakit. Menurut catatan pemerintah desa, dari 178 rumah, 150 di antaranya adalah rumah rakit yang mengapung di sepanjang Sungai Enggelam. Baru 30-an rumah panggung yang dibangun sedikit menjauh dari bantaran sungai.
Banyaknya penduduk yang tinggal di rumah rakit menimbulkan persoalan lain. Sebagian besar warga masih mandi, cuci, dan kakus di sungai. Jamban-jamban berdiri di sepanjang sungai. Padahal, Desa Muara Enggelam sedang bersolek memajukan pariwisatanya.
“Kami akui, masalah sanitasi tersebut tidak mudah diselesaikan. Warga di sini sudah tinggal di rumah rakit turun-temurun,” jelas Madi selaku kepala desa.
Madi mengatakan bahwa seluruh rumah panggung di Muara Enggelam sudah memiliki toilet. Septic tank tersebut ditanam di bawah gambut dan hanya bisa dibangun ketika musim kering. Pemerintah daerah juga disebut sudah berkali-kali membantu menuntaskan masalah sanitasi.
“Akan tetapi, untuk 150-an rumah rakit, tidak mungkin membangun septic tank. Kami masih memikirkan solusinya,” kata Madi lagi.
Persoalan jamban bisa menimbulkan masalah lain. Toilet pribadi merupakan indikator dalam pendataan warga miskin. Mereka yang tinggal di rumah tanpa toilet bisa digolongkan sebagai penduduk miskin. Di Desa Muara Enggelam, jumlah penduduk miskin ekstrem sebanyak 40 orang.
Hubungan antara jamban dengan penduduk miskin ini dibenarkan Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi. Diwawancarai pada hari-hari terakhir masa jabatannya, 28 September 2023, Hadi mengatakan bahwa Pemprov Kaltim telah menyadari hal tersebut sejak lama. Menurutnya, warga yang MCK di sungai belum tentu penduduk miskin. Banyak penduduk di bantaran sungai yang pendapatannya terbilang besar. Mereka memiliki kebun luas, beberapa perahu, bahkan rumah sarang walet. Menurut wagub, indikator kemiskinan tersebut perlu menyesuaikan kebiasaan warga lokal.
Pemprov disebut tidak tinggal diam. Sejak 2022, pemprov mengusung program rumah layak huni. Program ini berupa rehabilitasi 3.000 rumah. Sampai 2024, sebanyak 500 hunian telah direhabilitasi menjadi rumah layak huni. Apabila target 3.000 rumah terpenuhi, Hadi yakin, tingkat penduduk miskin Kaltim sebesar 6,11 persen bisa berkurang signifikan. (*)
Laporan mendalam (indepth report) ini ditulis pada akhir 2023. Tersaji berkat kerja sama kaltimkece.id dengan Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Peatland Rehabilitation and Management (PROPEAT).
Artikel yang ditampilkan di kandela.kaltimkece.id merupakan hasil kerja jurnalistik yang mengikuti Kode Etik Jurnalistik menurut Undang- Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Sumber literasi ialah buku, lansiran kantor berita resmi, jurnal, hasil penelitian, maupun arsip yang tidak masuk kategori dikecualikan sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi. Seluruh tulisan selalu didasari sumber yang jelas.