Jalan Hidup Guru Sekumpul






Walaupun terbelenggu kemiskinan, sifat-sifat mulianya nampak sejak kecil. Seorang ulama besar asal Kalsel yang bersuara indah dan amat dicintai jemaah.
Sudah berbulan-bulan, langit Kalimantan Selatan seperti enggan bersahabat. Hujan tiada turun membasahi bumi. Sumur-sumur pun tak mengeluarkan air. Sebagian besar ladang milik warga beranjak tandus. Para penduduk dilanda kegelisahan karena bencana kekeringan sudah di depan mata.

Peristiwa itu terjadi puluhan tahun silam di Bumi Lambung Mangkurat. Sejumlah warga akhirnya datang ke kediaman Muhammad Zaini Abdul Ghani di Martapura, Kabupaten Banjar. Mereka meminta ulama kharismatik itu memohon kepada Allah SWT agar hujan segera diturunkan. Abah Guru Sekumpul, demikian orang-orang memanggilnya, mengabulkan permintaan itu.

Guru Sekumpul bergegas mendatangi pohon pisang di depan rumahnya. Setelah melangitkan doa-doa dan bertawasul kepada Baginda Rasulullah, ia menggoyang-goyangkan pohon tersebut. Beberapa saat kemudian, sebagaimana diikhtisarkan dari artikel Biografi KH Muhammad Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul) di laduni.id, hujan turun dengan derasnya. Penduduk pun bersuka cita.

Barangkali hampir semua penduduk Kalimantan mengenal KH Muhammad Zaini atau Guru Sekumpul. Ulama besar yang begitu dicintai itu lahir di Desa Tunggul Irang Seberang, Martapura, pada malam Rabu, 27 Muharram 1361 Hijriah atau 11 Februari 1942. Ia diberi nama Qusyairi. Lantaran sering sakit-sakitan, namanya diganti menjadi Muhammad Zaini.

Masa kecilnya dihabiskan di Kampung Keraton, Martapura. Kehidupannya pada masa-masa Indonesia baru merdeka itu bisa dibilang amat susah. Ayah dan ibunya, Abdul Ghani-Masliah, hanyalah buruh penggosok batu intan. Penghasilan mereka sangat sedikit (17 Maksiat Hati: Inspirasi Pengajian Abah Guru Sekumpul, hlm 2).

Tinggal di lingkungan keluarga yang tak mampu, Zaini tak pernah mengeluh. Dalam biografinya, Muhammad Zaini pernah dipukuli orang-orang yang benci dan dengki kepadanya. Tak sekalipun ia mengadukan kejadian itu kepada orang tuanya. Sifat-sifat mulia seperti sabar, rida, tidak sombong, penyayang, pemurah, dan tidak pemarah, rupanya tertanam dalam diri Zaini sejak kecil. Sifat-sifat ini disebut tidak lepas dari keluarganya yang dikenal saleh dan taat beragama.

Guru Zaini memang keturunan ulama besar. Ia adalah generasi kedelapan dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Silsilahnya yaitu Muhammad Zaini Ghani bin Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Samman bin Saad bin Abdullah Mufti bin Muhammad Khalid bin Khalifah Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

“Untuk diketahui, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari adalah ulama besar Kalimantan. Dakwahnya menjangkau hampir seluruh wilayah di Asia Tenggara,” demikian sejarawan publik dari Kaltim, Muhammad Sarip, kepada Kandela, Sabtu, 13 Januari 2024.

Zaini menerima pendidikan yang baik dari ayah dan neneknya yang bernama Salabiah. Pamannya, Syekh Semman Mulya, juga mengajarinya. Zaini dididik dengan pengawasan ketat dan disiplin tinggi. Ia juga belajar di banyak tempat dan beragam guru.

Contohnya ketika berusia lima tahun, Zaini belajar Alquran kepada Guru Hasan Pesayangan. Setahun kemudian, ia menempuh pendidikan di Madrasah Kampung Keraton. Ia masuk Madrasah Diniyyah Pondok Pesantren Darussalam Martapura pada usia tujuh tahun atau pada 1949. Di pondok ini, ia belajar selama 12 tahun. Zaini dinyatakan lulus dengan nilai jayyid mumtaz atau sangat bagus pada 1961 atau ketika berusia 19 tahun.

Zaini bersama tiga temannya lantas mengajar di Pondok Pesantren Darussalam. Ketiga gurunya yaitu KH Abdul Qadir Hasan, KH Anang Sya'rani Arif, dan KH Salim Ma'ruf yang memintanya. Sementara itu, honor Zaini selama disedekahkan tanpa tersisa (hlm 3).

Zaini memutuskan berhenti menjadi pengajar empat tahun kemudian. Ia melanjutkan pendidikan ke luar Martapura. Pada 1965, Zaini muda bersama pamannya, KH Semman Mulya, berangkat ke Bangil, Jawa Timur. Zaini kemudian mendapat bimbingan spiritual dari Syekh Muhammad Syarwani Abdan.

Makam ayahanda KH Muhammad Zaini di Kampung Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan. FOTO: FELANANS MUSTARI-KANDELA-KALTIMKECE.ID
Makam ayahanda KH Muhammad Zaini di Kampung Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan. FOTO: FELANANS MUSTARI-KANDELA-KALTIMKECE.ID

Gurunya itu lantas menyuruh Zaini menemui Sayyid Muhammad Amin Qutbi di Makkah, Arab Saudi, untuk mendapatkan bimbingan sufistik. Sebelum berangkat ke Makkah, Zaini lebih dulu menemui Kiai Falak di Bogor, Jawa Barat. Ia memperoleh ijazah sanad suluk dan thariqat di kota tersebut. Setelah itu, Zaini berangkat menemui Sayyid Muhammad Amin Qutbi.

Kepergian ke Makkah tersebut juga dimanfaatkannya untuk menunaikan ibadah haji. Ia dihadiahi sejumlah kitab tasawuf. Dengan demikian, Zaini telah belajar tasawuf dan suluk kepada tiga ulama yakni Syekh Syarwani Abdan, Kyai Falak Bogor, dan Sayyid Muhammad Amin Qutbi.

Kegemaran Zaini menuntut ilmu dan bersilaturahmi kepada sejumlah ulama ini membuatnya memiliki banyak guru. Tak hanya di Kalimantan, guru-gurunya berasal dari Pulau Jawa dan Timur Tengah. Ada yang menyebutkan, guru Zaini berjumlah 179 hingga 200 orang.

Suara Merdu Guru Sekumpul

Pada 1960-an, Zaini mengadakan pengajian di rumahnya di Kampung Keraton. Pengajian itu sebenarnya hanya membantu kalangan santri yang kesulitan dalam alat pengajian. Zaini melengkapi pengajiannya dengan muzakarah dan kitab-kitab ilmu alat seperti kitab al-Ajrumiyyah, Mukhtashar Jiddan, Mutammimah, Qathr an-Nada, hingga Ibn ‘Aqil. Pengajian itu hanya diikuti sedikit orang pada mulanya.

Zaini kemudian rutin mengikuti dakwah keliling bersama dua gurunya, KH Husin Dahlan dan KH Semman Mulia. Ia menjadi qari atau pembaca Alquran. Gurunya yang menjadi penceramah. Dari dakwah keliling itulah, nama Zaini mulai populer. Ia dikenal sebagai qari bersuara merdu nan indah di Martapura.

Dari pengajian di Langgar Darul Amar di dekat kediamannya, ia mulai disapa Guru Keraton. Jemaah pengajiannya makin ramai dari hari ke hari. Pengikutnya datang dari masyarakat umum, baik dewasa, remaja, maupun anak-anak di luar Martapura. Kitab yang dikaji makin bervariasi, tidak cuma berfokus kitab ilmu alat tapi menelaah kitab tauhid, fiqih, tasawuf, tafsir, dan hadis.

Jemaah pengajian Guru Keraton membeludak pada 1980-an. Pelataran dan jalan-jalan dekat rumahnya penuh sesak. Melihat kondisi itu, Guru Keraton diam-diam menyiapkan lahan baru. Tempat itu berlokasi di Kampung Kacang (kini bernama Kampung Sekumpul). Setelah meminta restu para gurunya, Zaini memindahkan tempat pengajian dari Kampung Keraton ke Kampung Sekumpul. Ia pun tak lagi dipanggil Guru Keraton melainkan Guru Sekumpul. Sebagian orang juga memanggilnya dengan sebutan Guru Ijai (diambil dari namanya, Zaini).

Di Kampung Sekumpul, Guru Sekumpul membangun sebuah rumah dan musala besar bernama Mushalla Ar Raudhah. Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan nama Kompleks Arraudhah Sekumpul.

ILUSTRASI: M NAUVAL-KANDELA-KALTIMKECE.ID
ILUSTRASI: M NAUVAL-KANDELA-KALTIMKECE.ID

Pengajian di Kampung Sekumpul dimulai pada 1988. Kampung ini pelan-pelan menjadi ikon baru di Kalsel. Permukiman yang dulunya sepi kini disesaki rumah-rumah penduduk. Jemaah yang datang makin banyak. Hampir setiap hari pula, selalu ada pengajian di Kampung Sekumpul. Ahad sampai Kamis selepas salat asar, pengajian dikhususkan untuk pria. Pengajian khusus jemaah perempuan dilaksanakan pada Sabtu pagi.

Jemaah pengajian Guru Sekumpul makin besar. Pejabat negara, pejabat daerah, pimpinan tentara, pimpinan kepolisian, ulama, habib, tokoh politik, budayawan, hingga artis terkenal berdatangan (hlm 8). Mereka disebut punya berbagai keperluan. Mulai hanya bersilaturahmi, minta doa dukungan, nasihat, maupun berkonsultasi masalah keagamaan. Malahan, ada yang datang untuk minta dijadikan anak angkat. Oleh karena itu, Guru Sekumpul juga kerap dipanggil Abah Guru Sekumpul oleh sejumlah jemaahnya.

Ramainya pengajian diyakini tidak lepas dari kharisma Guru Sekumpul. Pengajian bahkan sampai dibatasi tiga kali dalam sepekan saking banyaknya jemaah. Pada Ahad dan Kamis, pengajian setelah salat asar sampai menjelang magrib. Setelah magrib, diadakan pembacaan Maulid al-Habsyi. Pengajian khusus perempuan tetap dilaksanakan pada Sabtu dari pukul 09.00-11.00.

Guru Sekumpul bersama KH Abdurrahman Wahid dalam sebuah kesempatan. FOTO: NU ONLINE
Guru Sekumpul bersama KH Abdurrahman Wahid dalam sebuah kesempatan. FOTO: NU ONLINE

Usaha yang Sukses

Walaupun sibuk dengan pengajian, Guru Sekumpul sebenarnya juga membuka usaha. Ia memulai jual-beli sembako kecil-kecilan setelah menikah pada 1975. Usaha tersebut makin maju sehingga KH Zaini membuka toko di Pasar Lima Banjarmasin pada 1978. Usaha itu kemudian dijalankan seorang muridnya.

KH Zaini mendirikan usaha jual-beli permata atau berlian pada 1990-an. Ia memperoleh hasil yang besar bahkan mampu menyewa ruko di Banjarbaru. Dari situ pula, usaha yang ia tekuni terus bertambah. Mulai jual-beli mobil, membuka Percetakan Arraudhah, hingga perusahaan Al-Zahra yang menjual perlengkapan ibadah, baju muslim, produk makanan, hingga parfum. Distribusi barang-barangnya tidak hanya di Kalsel tapi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur (hlm 9).

Pendapatan yang besar dari usaha tersebut tidak hanya untuk menghidupi keluarganya. Ia banyak bersedekah kepada orang lain. Guru Zaini bahkan mampu membangun Madrasah Darul Ma'rifah, membantu pembangunan pesantren, hingga merenovasi beberapa kubah ulama.

ILUSTRASI: M NAUVAL-KANDELA-KALTIMKECE.ID
ILUSTRASI: M NAUVAL-KANDELA-KALTIMKECE.ID

Kesehatan Abah Guru Sekumpul mulai menurun memasuki milenium baru. Ia sering sakit-sakitan. Zaini harus rutin mencuci daerah sejak 2002 karena masalah ginjal. Pengajian juga sering diliburkan bahkan hingga berbulan-bulan.

Walau demikian, semangatnya menyiarkan agama tak pernah surut. Sambil duduk atau berbaring, ia menyampaikan pengajian yang disiarkan lewat televisi. Pada 2005, kondisinya memasuki fase kritis. Ia berobat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura.

Setelah 10 hari dirawat, KH Zaini pulang ke Martapura. Pada Rabu subuh, 5 Rajab 1424 Hijriah atau 10 Agustus 2005, ulama kharismatik ini berpulang ke Rahmatullah akibat gagal ginjal. Ia wafat dalam usia 63 tahun, usia yang sama ketika Nabi Muhammad wafat. Jenazahnya dimakamkan di samping Mushalla Ar Raudhah, persis di samping makam pamannya, Syekh Semman Mulya. Kalimantan pun kehilangan seorang ulama kondang.

KH Zaini meninggalkan tiga istri yang bernama Juwairiyah, Laila, dan Siti Noor Jannah. Ia juga meninggalkan dua anak, Muhammad Amin Badali Al-Banjari dan Ahmad Hafi Badali Al-Banjari (hlm 11).

Haul yang Selalu Ramai

Abah Guru Sekumpul memang sudah tiada. Walaupun begitu, Kampung Sekumpul tak pernah sepi. Berbagai kegiatan keagamaan terus berjalan di kampung ini. Haul Guru Sekumpul, contohnya, diadakan setiap 5 Rajab. Tahun ini, haul Abah Guru Sekumpul dimulai pada Ahad, 14 Januari 2024.

Dalam artikel Sekolah Duduk yang ditulis Dahlan Iskan, haul ke-19 ini akan diikuti dua juta orang dari berbagai penjuru. Dahlan Iskan juga menjelaskan tentang Badali yang disandang dalam nama kedua anak Zaini. Badali berasal dari bahasa Arab yang artinya “penggantiku”.

Muhammad Amin dan Ahmad Hafi disebut sebagai sosok yang alim dan sangat layak menggantikan Abah Guru Sekumpul. Keduanya hafal Alquran. Belakangan, mereka memimpin pengajian di Mushalla Ar Raudhah, menggantikan ayah mereka.

Presiden RI, Joko Widodo, menghadiri haul Guru Sekumpul pada 25 Maret 2018. FOTO: SEKRETARIAT NEGARA
Presiden RI, Joko Widodo, menghadiri haul Guru Sekumpul pada 25 Maret 2018. FOTO: SEKRETARIAT NEGARA

Sejarawan dari Kaltim, Muhammad Sarip, menjelaskan beberapa alasan Haul Guru Sekumpul selalu ramai. Pertama, kaum muslim menghormati Guru Zaini Abdul Ghani karena keturunan ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Kedua, Abah Guru Sekumpul hidup di abad ke-20 yang artinya sezaman dengan kehidupan sebagian besar masyarakat sekarang.

Komunikasi dakwah KH Zaini selaras dengan kearifan lokal Kalimantan. Penggunaan bahasa daerah ketika berceramah atau mengajar lebih mendekatkan santri dan pemirsa secara emosional.

“Ketika beliau wafat, publik sangat kehilangan figur yang kharismatik,” tutur Sarip.

Alasan ketiga, masyarakat Kalimantan, terutama di kawasan selatan, tengah, tenggara, timur, mempunyai kultur memuliakan ulama yang telah wafat. Pemuliaan ini, terang Sarip, diimplementasikan dengan ritual haul tiap tahun. Kegiatan ini termasuk domain religiositas yang dipercayai sebagai bentuk peribadatan dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta.

Sarip turut menjelaskan penyebutan guru kepada KH Zaini. Ini tidak lain dari kebiasaan masyarakat Kalimantan yang menyapa para alim ulama dengan sebutan Guru. Sementara itu, tradisi pesantren di Pulau Jawa menyebut ulama dengan ‘kiai’. (*)

Senarai Kepustakaan

Laduni.id. Biografi KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul). Artikel, dikutip pada 13 Agustus 2023.

Shabri Shaleh Anwar. 17 Maksiat Hati: Inspirasi Pengajian Abah Guru Sekumpul. Qudwah Press. November 2018.

Disway.id. Sekolah Duduk. Artikel, dikutip pada 13 Januari 2024.

Naskah
Surya Aditya
Editor
Fel GM
Ilustrasi
M Imtinan Nauval
Tanggal Penerbitan
14 Januari 2024
Kandela

Artikel yang ditampilkan di kandela.kaltimkece.id merupakan hasil kerja jurnalistik yang mengikuti Kode Etik Jurnalistik menurut Undang- Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Sumber literasi ialah buku, lansiran kantor berita resmi, jurnal, hasil penelitian, maupun arsip yang tidak masuk kategori dikecualikan sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi. Seluruh tulisan selalu didasari sumber yang jelas.

KALTIMKECE.ID
Keren Cerdas
KANTOR
PT Kaltim Keren Cerdas
Jalan KH Wahid Hasyim II
Nomor 16, Sempaja Selatan,
Samarinda Utara, Samarinda,
Kalimantan Timur, 75119.
TELEPON
0811550176
SURAT ELEKTRONIK
redaksi@kaltimkece.id
info@kaltimkece.id
VERIFIKASI DAN ASOSIASI
redaksi@kaltimkece.id
info@kaltimkece.id
JEJARING MEDIA
redaksi@kaltimkece.id
info@kaltimkece.id
LAMAN SITUS
  • Beranda
  • Samarinda
  • Balikpapan
  • Kutai Kartanegara
  • Mahakam Ulu
  • Historia
  • Kesehatan
  • Hukum
  • Lingkungan
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Connect With Us :
Copyright © 2018 Kaltim Kece - All right reserved.