Sepanjang September 2023, reporter Kandela mendatangi 18 warung di Balikpapan untuk mengetahui penjualan rokok tanpa label pita cukai. Biasanya disebut rokok ilegal. Perinciannya adalah empat warung di Kelurahan Gunung Bahagia dan Sepinggan, lima warung di Kelurahan Batu Ampar dan Karang Joang, dan empat warung di Kelurahan Margomulyo dan Baru Ulu, empat warung di Kelurahan Manggar.
Dari 18 warung tersebut, sembilan di antaranya menjual rokok ilegal dari merek yang berbeda. Harga rokok tanpa pita cukai itu lebih murah dibandingkan rokok bercukai. Rokok ilegal biasanya dijual antara Rp 14.000 hingga Rp 15.000.
Kepala Seksi Bimbingan Kepatuhan dan Hubungan Masyarakat, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Timur, Widyo Tutoko, menyampaikan penjelasannya mengenai masalah ini. Peredaran atau penjualan rokok yang tidak dilekati pita cukai, atau diberi pita cukai palsu dan pita cukai tidak sesuai, jelas dilarang. Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU 10/1995 tentang Cukai.
“Keberadaan rokok ilegal disebabkan terutama karena disparitas harga dengan rokok legal yang pembayaran cukainya sesuai ketentuan,” jelas Widyo kepada reporter Kandela ketika ditemui pada Jumat, 29 September 2023.
Perbedaan harga yang mencolok disebut sebagai peluang oleh oknum yang ingin meraih keuntungan dengan memproduksi rokok ilegal. Makin tinggi tarif cukai, sebutnya, pertumbuhan rokok ilegal makin besar.
Widyo lantas menguraikan mengenai barang kena cukai yang tertuang dalam undang-undang. Barang kena cukai adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik seperti konsumsinya perlu dikendalikan, peredaran perlu diawasi, pemakaian dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, hingga pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
“Tentu saja, rokok ilegal dapat mengganggu industri rokok legal,” ingatnya.
Penerapan cukai disebut memiliki keadilan dan keseimbangan. Dana hasil cukai akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Besarannya adalah 40 persen untuk kesehatan, 50 persen untuk kesejahteraan masyarakat, dan 10 persen untuk penegakan hukum. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.07/2021 tentang Ketentuan Mengenai Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi DBHCHT.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu menekan peredaran rokok ilegal di seluruh Indonesia termasuk di Balikpapan,” ucapnya.
Dia menyebut berbagai upaya pemerintah menekan peredaran rokok ilegal. Cara preventif, misalnya, berupa sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak memproduksi atau mengonsumsi rokok ilegal. Cara represif berupa penindakan yang berujung sanksi administrasi bahkan sampai pidana.
“Yang terbaru adalah pengenaan sanksi administratif berupa denda tiga kali nilai cukai yang harus dibayar sebagaimana PMK nomor 237/PMK.04/2022,” jelas Widyo.
Kanwil Dirjen Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Timur juga telah menindak sejumlah pelanggaran. Tersangkanya dari Balikpapan dan Tenggarong. Widyo menambahkan, semuanya dikenai sanksi sesuai ketentuan.
“Selanjutnya, masih ada beberapa target yang diduga menjadi pengedar rokok ilegal di wilayah Balikpapan tapi masih dalam penelusuran,” tambahnya.
Dari penelusuran Kanwil Dirjen Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Timur, rokok-rokok ilegal masuk ke Balikpapan melalui jalur laut. Rokok ilegal yang diproduksi dari Pulau Jawa dikemas secara samar. Barang tersebut kemudian disisipkan di armada truk atau mobil angkutan ekspedisi maupun kendaraan pribadi yang diseberangkan ke Balikpapan melalui kapal ferry Ro-Ro di Pelabuhan Semayang.
Jalur kedua melalui media jual beli online. Pengiriman dapat melalui jalur laut maupun udara berupa kargo pesawat. “Kami senantiasa mengawasi jalur laut dan jalur darat baik dari perbatasan provinsi bahkan perbatasan negara,” tutur Widyo.
Meminjam catatan kanwil, penindakan rokok ilegal di Balikpapan sejak 2021 hingga 2023 mencapai 3,5 juta batang rokok. Total kerugian dalam tiga tahun terakhir menembus Rp 2,5 miliar.
Kurangi Pendapatan Daerah
Anggota Komisi II DPRD Balikpapan, Pantun Gultom, menyesalkan peredaran rokok ilegal di Kota Minyak. Menurutnya, hal ini menyangkut pendapatan asli daerah (PAD) yang sudah diatur undang-undang.
“Artinya, ada loss PAD yang dialami Balikpapan. Rokok ilegal beredar tetapi kita tidak mendapatkan pemasukan dari sana. Dampak kerusakan yang justru kita dapat karena dikonsumsi masyarakat,” terang anggota Fraksi PDI Perjuangan tersebut.
Gultom menjabarkan kerugian yang diderita daerah. Pertama, pajak penjualannya yang disetorkan sebagai bagian dari PAD. Kedua, kandungan di dalam rokok ilegal. Tidak ada yang mengetahui kadar di dalam rokok ilegal sehingga sangat rawan dikonsumsi masyarakat.
Meminjam catatan kanwil, penerimaan dari cukai rokok pada 2022 untuk Balikpapan sebesar Rp 279.183.000. Sementara pada 2023, sebesar Rp 774.661.000 dari penerimaan cukai dan denda administrasi di bidang cukai.
Gultom membenarkan bahwa penjualan rokok ilegal yang marak disebabkan kebutuhan. Distributor pun berupaya terus memproduksi rokok ilegal. Dia menilai lemahnya pengawasan menjadi aspek penting sehingga rokok ilegal bisa beredar.
“Kalau pengawasannya bagus, tidak mungkin lolos. Artinya, kalau bicara distribusi, melibatkan para pihak yang bisa mencegah terjadinya peredaran barang illegal. Bukan tidak ada cara tapi ada,” ingatnya. (*)
Artikel yang ditampilkan di kandela.kaltimkece.id merupakan hasil kerja jurnalistik yang mengikuti Kode Etik Jurnalistik menurut Undang- Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Sumber literasi ialah buku, lansiran kantor berita resmi, jurnal, hasil penelitian, maupun arsip yang tidak masuk kategori dikecualikan sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi. Seluruh tulisan selalu didasari sumber yang jelas.