Gilanya Kandungan Besi
Kepiting Ekspor Kaltim








Riset guru besar Universitas Mulawarman mendapati hasil mencengangkan. Kandungan besi kepiting bakau di pesisir Kaltim mencapai 240 kali lipat dari ambang batas aman. Dikhawatirkan menimbulkan masalah kesehatan jika dikonsumsi manusia.
Hasil pemeriksaan logam berat yang terkandung di kepiting bakau diterima Prof Esti Handayani Hardi pada pembuka Agustus 2023. Guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman, Samarinda, tersebut, seperti tidak percaya ketika membaca hasilnya. Kandungan besi di tubuh kepiting bakau, menurut laporan laboratorium kualitas air milik fakultas, jauh di atas ambang batas yang aman.

Ditemui pada pekan pertama Oktober 2023 di kediamannya, Prof Esti menyampaikan temuan tersebut kepada Kandela. Ia mengatakan bahwa penelitiannya mengambil sampel kepiting bakau di tiga lokasi yaitu perairan Paser, Penajam Paser Utara, dan Kutai Kartanegara.

Sampel tersebut diambil pada Desember 2022 hingga Januari 2023. Sampel dari daerah-daerah tersebut merupakan kepiting ekspor yang dipilih secara acak dari 15 eksporter di Balikpapan. Petugas Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Balikpapan yang memilih sampel random tersebut.

Sampel pertama dari PPU adalah kepiting bakau yang diambil di Kecamatan Penajam. Prof Esti berupaya mengetahui kandungan enam unsur logam berat. Keenam unsur itu adalah timbal (Pb), tembaga (Cu), kadmium (Cd), merkuri (Hg), arsen (As), dan besi (Fe). Setelah diteliti di laboratorium FPIK yang telah terakreditasi Komite Akreditasi Nasional, kandungan besi kepiting bakau dari sampel tersebut sangat tinggi. Kandungannya mencapai 24,59 miligram per kilogram daging.

Padahal, kata Prof Esti, menurut Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan 9/2022, ambang batas kandungan logam berat ikan hanya berkisar 0,3 hingga 2 miligram per kilogram daging. Sementara itu, standar nasional atau SNI menetapkan kandungan besi dari kepiting adalah 0,1 miligram per kilogram daging. Dengan demikian, kandungan besi kepiting bakau dari PPU mencapai 240 kali lebih banyak dari standar tersebut.

“Batas aman kandungan logam berat memang bergantung jenis ikan. Namun demikian, penelitian ini tetap menunjukkan hasil yang mencengangkan,” jelas Esti memaparkan jurnalnya yang berjudul Physical, Chemical, and Biological Characteristics of Crab (Scylla spp.) from East Kalimantan, Indonesia (Karakteristik Fisik, Kimia, dan Biologi Kepiting (Scylla spp.) dari Kalimantan Timur, Indonesia).

Kandungan besi dari sampel kepiting bakau di Kukar dan Paser juga tak kalah tinggi. Sampel dari Kukar diambil dari Kecamatan Handil, Muara Badak, dan kawasan Sungai Mariam. Kandungan besi dari sampel kepiting tersebut mencapai 10,1 miligram per kilogram daging. Sementara itu, untuk Paser, sampel diperoleh dari perairan Tanah Grogot. Kandungan besinya sebesar 6,9 miligram per kilogram daging kepiting.

“Angka-angka ini jelas mengerikan,” tutur Esti. Ia menggarisbawahi bahwa hasil temuan dari kepiting bakau ini merupakan gambaran bagi makhluk laut lainnya.

Desain Grafik: M NAUVAL-KANDELA-KALTIMKECE.ID
Desain Grafik: M NAUVAL-KANDELA-KALTIMKECE.ID

Esti Handayani telah menjadi guru besar di Universitas Mulawarman sejak berusia 39 tahun. Ia lulusan Universitas Diponegoro, Semarang. Gelar master dan doktornya dari Institut Pertanian Bogor untuk bidang ilmu akuakultur. Prof Esti saat ini merupakan koordinator Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan, Universitas Mulawarman.

Selama mengabdi di FPIK Unmul, Esti merupakan peneliti yang produktif. Sejak 2019, ia telah menerbitkan 24 artikel ilmiah nasional dan internasional. Esti juga telah menulis 13 buku serta memegang enam paten.

Kembali ke hasil penelitian, Esti mengatakan, kandungan logam berat yang tinggi tadi bisa berbahaya manakala kepiting dikonsumsi manusia. Banyak publikasi yang mengulas bahaya atau dampak paling buruk terhadap kerja ginjal. Gejala tersebut memang tidak langsung dirasakan. Kandungan logam berat baru dapat merusak organ tubuh apabila terus-menerus mengendap di dalam tubuh.

Walaupun demikian, Prof Esti meminta bahwa temuan ini tidak diambil mentah-mentah. Ia menyatakan, komponen dan struktur tanah di Pulau Kalimantan pada dasarnya mengandung unsur Fe atau besi yang tinggi. Hal itu memang belum tentu menjadi penyebab tunggal. Masih ada aktivitas industri ekstraktif yang ditengarai bisa menyebabkan cemaran logam berat kepada kepiting bakau.

Oleh sebab itu, Prof Esti melanjutkan, hasil riset ini memerlukan tindak lanjut. Lagi pula, tidak semua logam berat seperti besi bersifat racun. Sebagai peneliti, Esti mengakui Kaltim memiliki keterbatasan alat untuk memperoleh hasil yang lebih presisi mengenai Fe yang bersifat toksik atau berbahaya bagi manusia.

Meskipun demikian, ia berharap, temuan ini dapat menjadi peringatan dini bagi pemerintah daerah. Harapan itu tidak lepas dari Kaltim yang tengah gencar mengekspor hasil-hasil laut beberapa tahun terakhir.

“Sayang sekali kalau hal seperti ini dapat mengganggu ekspor karena tak memenuhi kualitas,” ingatnya.

Prof Esti Handayani Hardi, guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Menemukan hasil mencengangkan dari riset kepiting di Kaltim. FOTO: ARSIIP KANDELA-KALTIMKECE.ID
Prof Esti Handayani Hardi, guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Menemukan hasil mencengangkan dari riset kepiting di Kaltim. FOTO: ARSIIP KANDELA-KALTIMKECE.ID

Diwawancarai terpisah, Ratih Wirapuspita selaku ahli gizi di Samarinda mengatakan, logam berat dalam kadar tertentu sebenarnya membantu kinerja metabolisme tubuh. Akan tetapi, ketika jumlahnya berlebih, justru berbahaya.

“Kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia. Sementara bila kelebihan zat besi, dapat merusak jaringan tubuh,” terang Wakil Dekan I Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Mulawarman, tersebut.

Tingginya kandungan logam berat dalam makanan juga dapat menyebabkan autisme bagi tumbuh kembang anak. Ratih melanjutkan, anak dengan sindrom autisme cenderung mempunyai kandungan logam berat yang lebih tinggi. Kandungan logam berat tersebut dapat ditemukan di rambut, darah, dan urine.

“Hal tersebut sesuai dengan penelitian Andi Sofyan Hasdam dalam disertasi doktoralnya,” jelas Ratih. Judul penelitian bekas wali kota Bontang itu adalah The Study of Correlation Between Heavy Metal Levels in Environment and Autism Case in Samarinda and Bantul.

Jadi Perhatian

Kepala Bidang Pengelolaan dan Pembudi Daya Ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kutai Kartanegara, Sabar Handoyo, memberikan tanggapan menyangkut hasil riset ini. Menurutnya, pertama-tama yang perlu dipastikan adalah lokasi sampel tersebut diambil, kepiting tangkapan atau hasil budi daya. Cara menangkap kepiting yang dijadikan sampel juga harus diketahui.

“Ketika kepiting ditangkap dengan jaring kawat atau gunting jepit, dapat berpengaruh (terhadap kandungan logam berat),” sebutnya.

Apabila sampel kepiting ditangkap dengan gunting jepit, Sabar menilai, wajar apabila kandungan logam berat menjadi tinggi. Pada umumnya, kepiting yang ditangkap dengan cara itu hidup di lubang-lubang dasar air. Kandungan tanah di Kalimantan pada dasarnya memang mengandung logam berat yang tinggi.

Sabar memberikan penjelasan lanjutan ketika sampelnya adalah kepiting budi daya. Instansinya disebut memiliki program penggemukan kepiting. DKP Kukar melakukan quality control nutrisi yang dikonsumsi kepiting termasuk kandungan logam beratnya.

“Kami taruh kepiting di keramba jaring apung sehingga mereka tidak terkontaminasi kandungan tanah di dasar air,” jelasnya. Melalui program ini, jelas Sabar, sejumlah kepiting lolos komoditas ekspor. Satu dari antara lokasi budi daya yang mengekspor kepiting adalah Kecamatan Samboja.

Sabar mengapresiasi riset Prof Esti dari FPIK Unmul. Ia berjanji, instansinya lebih intensif dalam program penggemukan kepiting. “Apalagi bila kandungan logam berat nanti jadi acuan komoditas ekspor,” sebutnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim, Fathur Roziqin Fen, mendesak pemerintah segera bertindak. Ia menilai, hasil riset ini merupakan peringatan yang sangat penting dalam isu lingkungan di Kaltim. Perlu ada tindak lanjut yang konkret dari pemerintah.

“Persoalannya bukan hanya pencemaran terhadap makhluk laut melainkan pencemaran terhadap air laut itu sendiri,” tegasnya. (*)

Naskah
Muhammad Al Fatih
Editor
Fel GM
Ilustrasi
M Imtinan Nauval
Tanggal Penerbitan
24 Oktober 2023
Kandela

Artikel yang ditampilkan di kandela.kaltimkece.id merupakan hasil kerja jurnalistik yang mengikuti Kode Etik Jurnalistik menurut Undang- Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Sumber literasi ialah buku, lansiran kantor berita resmi, jurnal, hasil penelitian, maupun arsip yang tidak masuk kategori dikecualikan sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi. Seluruh tulisan selalu didasari sumber yang jelas.

KALTIMKECE.ID
Keren Cerdas
KANTOR
PT Kaltim Keren Cerdas
Jalan KH Wahid Hasyim II
Nomor 16, Sempaja Selatan,
Samarinda Utara, Samarinda,
Kalimantan Timur, 75119.
TELEPON
0811550176
SURAT ELEKTRONIK
redaksi@kaltimkece.id
info@kaltimkece.id
VERIFIKASI DAN ASOSIASI
redaksi@kaltimkece.id
info@kaltimkece.id
JEJARING MEDIA
redaksi@kaltimkece.id
info@kaltimkece.id
LAMAN SITUS
  • Beranda
  • Samarinda
  • Balikpapan
  • Kutai Kartanegara
  • Mahakam Ulu
  • Historia
  • Kesehatan
  • Hukum
  • Lingkungan
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Connect With Us :
Copyright © 2018 Kaltim Kece - All right reserved.