Joker berkenan membocorkan operasi kotornya setelah Kandela memastikan identitasnya disembunyikan. Ia memulai keterangannya dengan kalimat, “Bagi-bagi uang itu mudah. Yang sukar adalah menentukan lokasi.”
Joker biasanya mengemban jabatan sebagai koordinator lapangan tingkat kecamatan di dalam tim pemenangan. Ia beberapa kali beroperasi di Samarinda. Titik serangan fajar disebut telah ditentukan orang-orang di atasnya. Biasanya, amplop berisi Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribu disebarkan di titik-titik padat penduduk yang cenderung kumuh. Penduduk di permukiman itu kebanyakan dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
“Makanya, tidak pernah Anda temukan serangan fajar di Perumahan Dosen Universitas Mulawarman, misalnya. Money politic tidak berlaku bagi semua orang,” yakinnya ketika ditemui pada Ahad, 10 September 2023.
Joker juga bilang, lokasi serangan fajar harus dipastikan aman. Dia mesti pintar berkelit dari tim lawan. Pada hari-hari menjelang pemungutan suara, jelasnya, makin banyak mata yang mengintai. Setiap kubu biasanya punya tim yang kerjanya menangkap tim lawan yang main uang.
"Sekali serangan fajar, saya biasanya membawa Rp 100 juta. Uang tersebut diberikan lagi kepada operator lapangan di tingkat kelurahan dan desa," akunya.
Praktik lancung sogok massal ditengarai masih berjalan saat pemilu. Namun demikian, memang hanya sedikit yang berhasil diungkapkan. Menurut catatan Badan Pengawas Pemilihan Umum, sebanyak 262 dugaan politik uang berlangsung sepanjang pilkada serentak pada 2020 di seluruh Indonesia. Jumlah itu terdiri dari 197 laporan masyarakat dan 65 kasus merupakan temuan Bawaslu.
Kepada Kandela, Jumansyah selaku pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Samarinda, menyayangkan fenomena tersebut. Menurut dosen fakultas ilmu sosial dan ilmu politik ini, politik uang merupakan salah satu sumber penyebab korupsi. Seseorang yang menjabat setelah melewati pemilu yang berbalut politik uang, sebutnya, cenderung berperilaku koruptif.
Angka kasus korupsi yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi bisa dijadikan patokan. Sejak 2004 hingga 2021, KPK telah menangani 1.194 kasus tindak pidana korupsi. Jenis perkara terbanyak adalah penyuapan yaitu 775 kasus. Sebagian besar pejabat negara yang menerima rasuah adalah kepala daerah dan anggota legislatif.
Jumansyah memaparkan, politik uang yang mendorong praktik koruptif adalah indikasi kualitas demokrasi yang masih rendah. Makanya, supaya praktik tersebut lenyap, kualitas pemilih juga harus ditingkatkan. Kualitas pemilih ditentukan oleh setidaknya tiga variabel yaitu kondisi ekonomi, tingkat pendidikan, dan tingkat kesehatan. Jumansyah menilai, tingkat pendidikan merupakan variabel utama yang menentukan kesadaran politik masyarakat.
Ketika tingkat pendidikan pemilih masih rendah, sambungnya, sangat sedikit calon kepala daerah atau anggota legislatif yang mengedepankan visi dan misi. Visi dan misi disebut tidak laku di mata sebagian pemilih.
“Pada akhirnya, politik uang menjadi cara relevan buat meraih kekuasaan,” terang Jumansyah.
Pendidikan dan Demokrasi
Hipotesis bahwa tingkat pendidikan pemilih berkaitan erat dengan kualitas demokrasi boleh jadi benar adanya. Di negara-negara dengan tingkat pendidikan penduduk yang baik, indeks demokrasinya rata-rata sangat tinggi.
Daftar negara yang memuat tingkat pendidikan penduduknya dilansir OECD dalam publikasi berjudul Programme for International Student Assessment. Sebanyak tujuh negara memiliki penduduk dengan persentase lulusan pendidikan tinggi di atas 50 persen. Dalam kalimat lain, lebih dari setengah penduduk di negara-negara tersebut adalah lulusan diploma ke atas (diploma, sarjana, master, dan doktor).
Ketujuh negara tersebut adalah Kanada, Rusia, Jepang, Luksemburg, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Israel. Indonesia, sayangnya, masih di peringkat ke-42 dengan hanya 11,2 persen dari 270 juta penduduk yang lulus pendidikan tinggi (daftar negara selengkapnya, lihat infografik di bawah ini).
Daftar di atas kemudian disandingkan dengan urutan indeks demokrasi negara-negara di dunia. Perbandingan ini bertujuan untuk melihat hubungan antara persentase penduduk yang lulus perguruan tinggi dengan indeks demokrasi di suatu negara.
Daftar indeks demokrasi terbaru dikeluarkan The Economist. Sebanyak 24 negara memperoleh skor indeks demokrasi di atas 8. Indeks ini menggunakan skala 1–10. Makin tinggi skornya, makin bagus kualitas demokrasinya. Adapun indeks demokrasi, ditentukan oleh variabel kebebasan sipil, budaya politik, partisipasi politik, berfungsinya pemerintahan, serta proses pemilu.
Dari 24 negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia, 19 di antaranya ternyata memiliki lulusan pendidikan tinggi di atas 30 persen. Malahan, 15 dari 24 negara tersebut memiliki persentase penduduk yang lulus pendidikan tinggi di atas 40 persen. Dari sini diperoleh kecenderungan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan penduduk di suatu negara, makin tinggi pula kualitas demokrasinya.
Hanya dua negara yang skor indeks demokrasinya di atas 8 tetapi persentase penduduk lulusan pendidikan tinggi di bawah 30 persen. Keduanya adalah Kosta Rika dan Chile. Sementara tiga negara yang lain, tidak masuk penelitian PISA-OECD sehingga tidak ada data persentase lulusan pendidikan tinggi (selengkapnya, lihat infografik berikut ini).
Bagaimana dengan Indonesia? Indeks demokrasi republik ini pada 2022 adalah 6,71 atau masuk kategori demokrasi yang belum sempurna. Indonesia duduk di peringkat 54 dunia untuk urusan demokrasi. Hal itu berbanding lurus dengan persentase penduduk Indonesia yang lulus pendidikan tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik pada 2022, hanya 10,9 persen angkatan kerja (penduduk usia 15 tahun ke atas) yang menyelesaikan pendidikan di tingkat akademi dan universitas.
Jumansyah dari Universitas Mulawarman mengingatkan bahwa tingkat pendidikan penduduk yang belum memadai telah melahirkan kualitas demokrasi yang rendah. Selanjutnya, kualitas demokrasi yang rendah itu dapat menyuburkan praktik-praktik korupsi. Di hulunya adalah politik uang. Sementara di bagian hilir, pejabat yang merupakan produk pemilu cenderung bisa berperilaku koruptif.
Hubungan antara tingkat pendidikan penduduk suatu negara dengan praktik korupsi juga dapat ditengok dari publikasi Transperency.org. Organisasi ini memublikasikan indeks persepsi korupsi negara-negara di dunia. Skornya menggunakan skala 1–100. Sederhananya adalah skor yang makin tinggi berarti makin kecil persepsi korupsi di negara tersebut.
Dari 10 negara dengan indeks persepsi korupsi tertinggi, sembilan di antaranya ternyata memiliki indeks demokrasi yang baik. Dus, tingkat persentase masyarakat yang lulus pendidikan tinggi di 10 negara itu tergolong bagus.
“Sederhananya, pemilih dengan tingkat pendidikan yang bagus berkesempatan memperbaiki kondisi ekonomi dan tingkat kesehatannya. Pemilih tersebut tentu bisa berpikir baik-buruknya menerima uang saat pemilu. Lebih dari itu, seorang pemimpin merupakan cerminan dari kondisi masyarakat. Ketika kondisi masyarakat buruk, buruk jugalah pemimpinnya, demikian sebaliknya,” jelas Jumansyah.
Bagaimana dengan Kaltim?
Perbandingan ketiga data di atas menyimpulkan hal yang penting. Indeks demokrasi suatu negara cenderung baik apabila lebih dari 30 persen penduduknya lulus pendidikan tinggi. Indeks demokrasi yang baik tentu dapat mengurangi praktik korupsi. Pemerintahan yang sehat dan politikus yang berkualitas dapat menjamin kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, dan transparansi. Kesemuanya itu indikator negara demokrasi.
Pertanyaannya adalah kapan struktur demografi, dalam konteks wilayah Kaltim, bisa ideal agar melahirkan demokrasi yang sehat? Berapa tahun lagi 30 persen penduduk Kaltim yang lulus pendidikan tinggi itu bisa tercapai?
Menukil catatan Badan Pusat Statistik Kaltim, persentase angkatan kerja (penduduk berusia lebih dari 15 tahun) yang lulus akademi atau universitas di provinsi ini sedikit lebih baik dari angka nasional. Persentasenya sebesar 13,81 persen pada 2021.
Padahal sepuluh tahun sebelumnya atau pada 2011, masih menurut BPS, persentasenya adalah 7,45 persen (data tersebut masih memuat wilayah Kalimantan Utara). Dari sini dapat dilihat bahwa kenaikan persentase angkatan kerja yang lulus akademi dan universitas hanya sebesar 6,36 persen dalam satu dekade.
Apabila kenaikan ini tidak berubah banyak dalam waktu-waktu ke depan, Kaltim memerlukan 32 tahun sampai 30 persen penduduknya lulus akademi dan universitas. Lebih persisnya, demografi yang ideal tadi baru terwujud pada 2055.
Perhitungan di atas tentu saja menggunakan asumsi yang sangat sederhana. Perkiraan 32 tahun tadi mengabaikan kelompok usia penduduk. Sebagaimana ditemukan di banyak negara berkembang, tingkat pendidikan penduduk dari kelompok usia yang lebih muda biasanya lebih baik dibanding kelompok di atasnya. Pada waktunya, generasi tua dengan tingkat pendidikan yang terbatas akan digantikan generasi muda yang memiliki pendidikan yang lebih memadai.
Apabila menggunakan asumsi itu, harapan akan struktur demografi yang memiliki pendidikan yang baik jauh lebih cepat tercapai. Menurut catatan BPS Kaltim, persentase generasi muda yang kuliah saat ini tergolong tinggi.
Jumlah mahasiswa di Kaltim terus mengalami peningkatan tajam dalam dua dasawarsa terakhir. Pada 2000, jumlah mahasiswa di Kaltim sebanyak 26.905 jiwa dan pada 2010 sebanyak 68.645 jiwa. Kedua data tersebut diperoleh dari BPS Kaltim yang masih memuat Provinsi Kaltara. Pada 2020, jumlah mahasiswa di Kaltim meningkat tajam menjadi 103.038 mahasiswa.
Jumlah tersebut tergolong besar bila dibandingkan penduduk Kaltim dari kelompok usia 15-24 tahun yaitu 664.081 jiwa. Apabila diasumsikan setengah dari jumlah tersebut adalah usia kuliah (17-22 tahun), dapat dikatakan bahwa 31 persen penduduk usia kuliah di Kaltim melanjutkan pendidikan tinggi.
Angka 31 persen inilah yang menjadi modal penting bagi Bumi Etam. Sepanjang tidak ada penurunan partisipasi pendidikan tinggi dalam 25 tahun, struktur demografi Kaltim ditilik dari tingkat pendidikan akan jauh lebih baik.
Pada 2048 atau seperempat abad dari sekarang, 30 persen sampai 40 persen penduduk Kaltim yang berusia 22-50 tahun adalah lulusan akademi dan universitas. Harapan pemilih Kaltim yang berkualitas sehingga melahirkan demokrasi yang lebih baik itu makin dekat. Tinggal menunggu generasi sekarang menggantikan generasi di atasnya.
Tanggapan Ketua Partai Politik
Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa Kaltim, Syafruddin, menyampaikan pendapatnya. Mengenai dugaan politik uang yang masih marak dipraktikkan, bekas pentolan aktivis Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia itu menilai, kampanye pada dasarnya menyesuaikan demografi masyarakat.
“Kalau medannya di kampus, yang dihadirkan politik gagasan. Kalau di segmen menengah ke bawah, pendekatannya sesuai kebutuhan,” terang Syafruddin ketika diwawancarai pada pembuka September 2023.
Kampanye bagi masyarakat awam, sambungnya, adalah dengan hal-hal yang dekat dengan pemilih. Kuncinya adalah kemudahan pelayanan publik. Contohnya mengurus KTP, akses terhadap air bersih, listrik, dan sebagainya. Hal itu berbeda dengan kampanye bagi masyarakat kampus yang memerlukan gagasan yang bersifat teoritis.
Sementara itu, Rudy Mas’ud, ketua DPD Partai Golkar Kaltim, tidak membantah kuatnya hubungan antara tingkat pendidikan pemilih, politik uang, dan kualitas demokrasi. Menurutnya, tingkat pendidikan yang rendah serta kemiskinan merupakan lingkaran setan yang tak dapat dipisahkan.
Rudy mendorong agar pendidikan menjadi prioritas utama. Ia mengutip Pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Ayat tersebut mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen. Dana itu dialokasikan baik dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pemerintah pusat disebut telah mengeluarkan anggaran yang besar untuk pendidikan. Pada 2023, dari APBN sebesar Rp 3.061 triliun, alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp 595,5 triliun. Sesuai dengan amanat undang-undang, kata Rudy, pendidikan adalah nomor satu.
“Kata BJ Habibie (presiden ketiga RI), untuk memutuskan rantai kemiskinan dan kebodohan hanya melalui jalur pendidikan,” ucap anggota Komisi III DPR RI ini.
Putusnya rantai tersebut diyakini dapat memperbaiki kualitas pemilu termasuk kualitas wakil rakyat dan kepala daerah. Dalam konteks Kaltim, provinsi ini masih harus menanti seperempat abad lagi untuk memperbaiki kualitas demokrasi. (*)
Artikel yang ditampilkan di kandela.kaltimkece.id merupakan hasil kerja jurnalistik yang mengikuti Kode Etik Jurnalistik menurut Undang- Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Sumber literasi ialah buku, lansiran kantor berita resmi, jurnal, hasil penelitian, maupun arsip yang tidak masuk kategori dikecualikan sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi. Seluruh tulisan selalu didasari sumber yang jelas.