Joker berkenan membocorkan operasi kotornya kepada Kandela. Ia memulai dengan kalimat, “Bagi-bagi uang itu mudah. Yang sukar adalah menentukan lokasi.”
Joker biasanya mengemban jabatan sebagai koordinator lapangan tingkat kecamatan di tim pemenangan. Ia beberapa kali beroperasi di Samarinda. Titik serangan fajar disebut telah ditentukan orang-orang di atasnya. Biasanya, amplop berisi Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribu disebarkan di titik-titik padat penduduk yang cenderung kumuh. Penduduk di permukiman itu kebanyakan dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
“Makanya, tidak pernah Anda temukan serangan fajar di Perumahan Dosen Unmul, misalnya. Money politic tidak berlaku bagi semua orang,” sambungnya.
Joker juga bilang, lokasi untuk serangan fajar juga harus dipastikan aman. Dia harus pintar berkelit dari tim lawan. Pada hari-hari menjelang pemungutan, jelasnya, makin banyak mata yang mengintai. Setiap kubu biasanya punya tim yang kerjanya menangkap tim lawan yang main uang. Dalam satu serangan, Joker mengaku, membawa Rp 100 juta. Uang tersebut diberikan lagi kepada operator lapangan di tingkat kelurahan dan desa.
Praktik lancung sogok massal ditengarai banyak berjalan saat pemilu. Namun demikian, hanya sedikit yang berhasil diungkapkan. Menurut catatan Badan Pengawas Pemilihan Umum, sebanyak 262 laporan politik uang sepanjang pilkada serentak pada 2020 di seluruh Indonesia. Jumlah itu terdiri dari 197 laporan masyarakat dan 65 kasus merupakan temuan Bawaslu.
Kepada Kandela, Jumansyah selaku pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Samarinda, menyayangkan fenomena tersebut masih kerap ditemui. Menurutnya, politik uang merupakan salah satu sumber penyebab korupsi. Seseorang yang menjabat setelah melewati pemilu dengan politik uang, cenderung berperilaku koruptif.
Angka kasus korupsi yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi bisa dijadikan patokan. Sejak 2024 hingga 2021, KPK telah menangani 1.194 kasus tindak pidana korupsi. Jenis perkara terbanyak adalah penyuapan sebanyak 775 kasus. Sementara itu, sebagian besar pejabat negara yang terlibat adalah kepala daerah dan anggota legislatif.
Jumansyah memaparkan, politik uang yang mendorong praktik koruptif adalah indikasi kualitas demokrasi yang masih rendah. Makanya, supaya praktik tersebut lenyap, kualitas pemilih atau masyarakat juga harus ditingkatkan. Kualitas pemilih ditentukan oleh setidaknya tiga variabel yaitu kondisi ekonomi, tingkat pendidikan, dan kesehatan. Khusus tingkat pendidikan pemilih, Jumansyah mengatakan, merupakan variabel utama yang menentukan kesadaran politik masyarakat.
Ia melanjutkan bahwa sebagian politikus memakai sumber daya keuangan dan kekuatan memobilisasi massa untuk meraup suara konstituen. Sangat sedikit calon-calon yang mengedepankan visi dan misi untuk meraih hati para pemilih. Bukan tanpa alasan, menjual visi dan misi disebut tidak laku di mata sebagian besar pemilih.
“Pada akhirnya, politik uang menjadi cara yang relevan untuk meraih kekuasaan,” terang Jumansyah.
Pendidikan dan Demokrasi
Benarkah tingkat pendidikan pemilih bisa melenyapkan politik uang sekaligus memperbaiki demokrasi? Faktanya, di negara-negara dengan penduduk yang tingkat pendidikannya memadai, cenderung memiliki indeks demokrasi yang tinggi. Malahan, semua negara yang indeks demokrasinya baik adalah negara yang penduduknya memiliki tingkat pendidikan yang bagus.
Publikasi Programme for International Student Assessment yang dilansir OECD dapat dijadikan gambaran. Tujuh negara memiliki penduduk dengan persentase lulusan pendidikan tinggi di atas 50 persen. Dalam kalimat lain, lebih dari setengah penduduk di negara-negara tersebut adalah lulusan diploma ke atas (diploma, sarjana, master, dan doktor). Ketujuh negara itu adalah Kanada, Rusia, Jepang, Luksemburg, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Israel.
Masih dari publikasi yang sama, sebanyak 20 negara–termasuk tujuh negara tadi–memiliki penduduk lulusan pendidikan tinggi di atas 40 persen. Indonesia, sayangnya, masih berada di peringkat ke-42 dengan hanya 11,2 persen dari 270 juta penduduk yang lulus pendidikan tinggi.
Data di atas kemudian dapat dibandingkan dengan daftar indeks demokrasi negara-negara di dunia. Perbandingan ini bertujuan untuk melihat hubungan antara persentase penduduk yang lulus perguruan tinggi dengan indeks demokrasi di negara tersebut.
Daftar indeks demokrasi terbaru dikeluarkan The Economist. Sebanyak 24 negara memperoleh skor indeks demokrasi di atas 8. Indeks ini menggunakan skala 1–10. Makin tinggi skornya, makin bagus kualitas demokrasinya. Indeks demokrasi tersebut ditentukan variabel kebebasan sipil, budaya politik, partisipasi politik, berfungsinya pemerintahan, serta proses pemilu.
Dari 24 negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia, 19 di antaranya memiliki penduduk lulusan pendidikan tinggi di atas 30 persen. Malahan, 15 dari 24 negara tersebut memiliki persentase penduduk yang lulus pendidikan tinggi di atas 40 persen. Hanya dua negara yang skor indeks demokrasinya di atas 8 tetapi persentase penduduk lulusan pendidikan tinggi di bawah 30 persen. Keduanya adalah Kosta Rika dan Jerman. Tiga negara yang lain tidak masuk dalam penelitian PISA-OECD sehingga tidak ada data persentase lulusan pendidikan tinggi.
Bagaimana dengan Indonesia? Indeks demokrasi Indonesia pada 2022 adalah 6,71 atau masuk kategori demokrasi yang belum sempurna. Indonesia duduk di peringkat 54 dunia untuk urusan demokrasi. Hal itu berbanding lurus dengan persentase penduduk yang lulus pendidikan tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik pada 2022, hanya 10,9 persen angkatan kerja Indonesia (penduduk usia 15 tahun ke atas) yang menyelesaikan pendidikan di tingkat akademi dan universitas.
Sebagaimana diulas di atas, tingkat pendidikan penduduk yang rendah berhubungan erat dengan indeks demokrasi yang rendah. Selanjutnya, indeks demokrasi yang rendah ditengarai melahirkan angka korupsi yang tinggi.
Transperency.org adalah sebuah organisasi yang memublikasikan indeks persepsi korupsi negara-negara di dunia. Skornya menggunakan skala 1–100. Makin tinggi skor, makin kecil korupsi di negara tersebut. Dari 10 negara dengan indeks persepsi korupsi teratas, sembilan di antaranya memiliki indeks demokrasi yang baik. Dus, tingkat pendidikan masyarakatnya juga tinggi.
“Kita bisa menyederhanakan gambaran dari data-data di atas. Seorang pemimpin merupakan cerminan dari kondisi masyarakat. Ketika kondisi masyarakat buruk, buruk jugalah pemimpinnya,” jelas Jumansyah dari Universitas Mulawarman.
Bagaimana dengan Kaltim?
Indeks demokrasi suatu negara maupun wilayah cenderung baik apabila lebih dari 40 persen penduduknya lulus pendidikan tinggi. Indeks demokrasi yang baik akan mengurangi praktik korupsi. Selanjutnya, pemerintahan yang sehat, politikus yang berkualitas, kebebasan berpendapat, dan pemilu yang bersih ikut terwujud.
Pertanyaannya, kapan struktur demografi Kaltim bisa ideal bagi demokrasi yang sehat? Berapa tahun lagi, angka 40 persen penduduk lulus pendidikan tinggi, bisa dicapai di Kaltim?
Persentase angkatan kerja (penduduk berusia lebih dari 15 tahun) di Kaltim yang lulus akademi atau universitas sedikit lebih baik dari angka nasional. Menurut BPS Kaltim, persentasenya sebesar 13,81 persen pada 2021.
Sepuluh tahun sebelumnya atau pada 2011, masih menurut BPS, persentasenya adalah 7,45 persen (data tersebut masih memuat wilayah Kalimantan Utara). Dari data tersebut terlihat bahwa ke kenaikan persentase angkatan kerja yang lulus akademi dan universitas hanya 6,36 persen dalam 10 tahun.
Apabila kenaikan ini tidak berubah banyak, Kaltim memerlukan 42 tahun supaya 40 persen penduduknya lulus akademi dan universitas. Lebih persisnya, demografi yang ideal tadi baru terwujud pada 2065.
Perhitungan di atas tentu saja mengabaikan kelompok usia penduduk. Sebagaimana banyak ditemukan di negara berkembang, tingkat pendidikan penduduk dari kelompok usia yang lebih muda biasanya lebih baik dibanding kelompok di atasnya. Pada waktunya, generasi tua dengan tingkat pendidikan yang terbatas akan digantikan generasi muda yang memiliki pendidikan yang lebih memadai.
Persentase generasi muda yang kuliah pada saat ini bisa dijadikan dasar perhitungan yang lain. Sebagai informasi, jumlah mahasiswa di Kaltim mengalami peningkatan tajam dalam dua dasawarsa terakhir. Pada 2000, jumlah mahasiswa di Kaltim sebanyak 26.905 jiwa dan 68.645 jiwa pada 2010. Semua data tersebut diperoleh dari BPS Kaltim.
Pada 2020, jumlah mahasiswa di Kaltim meningkat tajam menjadi 103.038 mahasiswa. Sementara itu, penduduk Kaltim dari kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 664.081 jiwa. Apabila diasumsikan setengah dari jumlah tersebut adalah usia kuliah (17-22 tahun), dapat dikatakan 31 persen penduduk usia kuliah di Kaltim melanjutkan pendidikan tinggi.
Angka 31 persen ini merupakan modal penting sepanjang tidak ada penurunan partisipasi pendidikan tinggi dalam 25 tahun. Pada 2048, struktur demografi Kaltim terutama dari tingkat pendidikan jauh lebih baik. Pada saat itu, 31 persen penduduk Kaltim yang berusia 22-50 tahun adalah lulusan akademi dan universitas. Harapan pemilih Kaltim yang berkualitas sehingga melahirkan demokrasi yang lebih baik itu makin dekat.Hanya menunggu generasi sekarang menggantikan generasi di atasnya.
Tanggapan Ketua Partai Politik
Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa Kaltim, Syafruddin, menyampaikan pendapatnya mengenai fenomena ini. Mengenai politik uang, bekas pentolan aktivis Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia itu menilai, kampanye pada dasarnya menyesuaikan demografi masyarakat.
“Kalau medannya di kampus, yang dihadirkan politik gagasan. Kalau di segmen menengah ke bawah, pendekatannya sesuai kebutuhan,” terang Syafruddin.
Kampanye bagi masyarakat awam, sambungnya, adalah dengan hal-hal yang dekat dengan pemilih. Kuncinya adalah kemudahan pelayanan publik. Contohnya seperti mengurus KTP, akses terhadap air bersih, listrik, dan sebagainya. Berbeda dengan kampanye bagi masyarakat kampus dengan gagasan-gagasan yang bersifat teoritis.
Sementara itu, Rudy Mas’ud, ketua DPD Partai Golkar Kaltim, tidak membantah kuatnya hubungan antara tingkat pendidikan pemilih, politik uang, dan kualitas demokrasi. Menurutnya, tingkat pendidikan yang rendah serta kemiskinan merupakan lingkaran setan yang tak dapat dipisahkan.
Rudy mendorong agar pendidikan menjadi prioritas utama. Ia mengutip aturan yang tertuang dalam Pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Ayat tersebut mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen. Dana itu dialokasikan baik dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pemerintah pusat disebut telah mengeluarkan anggaran yang besar untuk pendidikan. Pada 2023, dari APBN sebesar Rp 3.061 triliun, alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp 595,5 triliun. Sesuai dengan amanat undang-undang, kata Rudy, pendidikan adalah nomor satu.
“Kata BJ Habibie (presiden RI ketiga), untuk memutuskan rantai kemiskinan dan kebodohan hanya melalui jalur pendidikan,” ucapnya.
Rantai yang putus itu pulalah yang akan memperbaiki kualitas pemilu, wakil rakyat, maupun kepala daerah. Hanya saja, perlu satu generasi lagi memutuskan untaian cincin yang membentuk rantai tersebut. (*)
Artikel yang ditampilkan di kandela.kaltimkece.id merupakan hasil kerja jurnalistik yang mengikuti Kode Etik Jurnalistik menurut Undang- Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Sumber literasi ialah buku, lansiran kantor berita resmi, jurnal, hasil penelitian, maupun arsip yang tidak masuk kategori dikecualikan sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi. Seluruh tulisan selalu didasari sumber yang jelas.