Pernyataan itu disampaikan dalam lokakarya Pelaksanaan Nilai Ekonomi Karbon dan Program Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Berbasis Hutan dan Lahan di Kaltim, Selasa, 29 Agustus 2023. Isran sudah membawa keluhannya itu ke Conference of the Parties (COP) ke-26 di Glasgow, Skotlandia, pada 2021. Dalam konvensi tersebut, ia mengajukan ancaman. Apabila negara-negara maju tidak membantu negara-negara yang berhasil menurunkan emisi karbon, ia akan membakar hutan di Kaltim.
Tiga bulan sepulang dari Glasgow, Isran menerima surat dari Bank Dunia. Lembaga keuangan tersebut bersedia memberikan kompensasi atas usaha Kaltim menjaga hutan. Kompensasi diberikan melalui Program Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)-Carbon Fund.
“Jadi, memang harus gertak-gertak sambal dulu,” kelakar Isran dalam lokakarya tersebut.
Kaltim disebut telah menyerap 32 juta ton CO2 ekuivalen. World Bank kemudian membayar 22 juta ton di antaranya seharga USD 110 juta atau Rp 1,6 triliun. Kaltim akan menerima 87 persen dari Rp 1,6 triliun itu setelah dipotong 13 persen di pemerintah pusat. Untuk tahap pertama, Kaltim menerima dana kompensasi USD 20,9 juta atau setara Rp 309 miliar.
Kompensasi untuk setiap ton karbon dioksida (CO2) ekuivalen, sebut Isran, adalah USD 5. Walau terbilang kecil, Isran menyatakan, bukan masalah. “Daripada enggak dibayar sama sekali,” ucapnya.
Kompensasi untuk setiap ton karbon dioksida (CO2) ekuivalen, sebut Isran, adalah USD 5. Walau terbilang kecil, Isran menyatakan, bukan masalah. “Daripada enggak dibayar sama sekali,” ucapnya.
Harga CO2 ekuivalen di pasar global sebenarnya berkisar USD 50 per ton. Kaltim mau menerima USD 5 per ton, terang Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kaltim, Ence Ahmad Rafiddin Rizal, karena pembiayaan ini bukan perdagangan. Kompensasi itu merupakan apresiasi World Bank terhadap upaya pengurangan emisi gas rumah kaca. Pembiayaan ini dibayarkan melalui program result based payment (RBP) yang telah disepakati pemerintah provinsi, pusat, dan World Bank.
Dalam kontrak kerja RBP, Kaltim hanya dituntut mengurangi 22 juta ton CO2 ekuivalen selama lima tahun yaitu pada 2019-2024. Kaltim sudah menurunkan 30 juta ton CO2 ekuivalen pada 2020. Tahun ini, dilaporkan ada tambahan 2 juta ton CO2 ekuivalen yang dikurangi.
Skema pengurangan dan pembayaran 22 juta ton CO2 itu juga bertahap. Pada tahap pertama, Kaltim diharuskan mengurangi 5 juta ton CO2, tahap kedua 8 juta ton, dan tahap ketiga 9 juta ton. World Bank saat ini baru membayar tahap pertama sebesar USD 20,9 juta. “Mungkin, pembayarannya bisa sampai 2025,” sebut Rafiddin.
Kaltim Produsen Karbon Juga
Kaltim sebenarnya produsen emisi karbon dioksida juga. Aktivitas pertambangan batu bara yang masif di Bumi Etam adalah penghasil utama. Sumber emisi karbon dari aktivitas tersebut terdiri dari dua macam. Pertama, CO2 yang dihasilkan dari pembukaan lahan untuk pertambangan. Kedua, batu bara yang diekspor dan dibakar ratusan pembangkit listrik di luar negeri secara tidak langsung ikut menyumbangkan emisi karbon.
Analis kebijakan ahli utama Bidang Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Joko Prihatno, memberikan penjelasan. Sumber emisi karbon yang pertama, dari kegiatan pertambangan, terdiri dari pembongkaran tanah, transportasi, dan penerangan untuk tambang.
“Cara menghitung emisi di sektor pertambangan dapat dibaca di Permen KLHK 73/2017. Memang benar, emisi dari PLTU batu bara jauh lebih besar,” sebutnya.
Menukil catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim, emisi karbon dari kegiatan pertambangan batu bara di Bumi Etam menduduki peringkat pertama se-Indonesia. Pada 2020, aktivitas ini menghasilkan 68 juta ton CO2 ekuivalen dari luas pertambangan 1,3 juta hektare.
Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Fathur Roziqin Fen, menegaskan, data tersebut baru berasal dari pembukaan hutan. Emisi karbon dari Kaltim diprediksi makin besar apabila revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kaltim disahkan. Revisi tersebut memungkinkan hutan dialihfungsikan menjadi area tambang. Ia curiga, revisi hanya untuk memanjakan korporasi dan politikus.
Sumber kedua emisi karbon Kaltim adalah komoditas batu bara itu sendiri. Menurut perhitungan PT PLN (Persero), 1 kilogram batu bara akan menghasilkan daya listrik 2 kilowatt-hour (kwh). Adapun 1 kwh dari pembangkit berbasis batu bara akan menghasilkan 0,85 kilogram CO2 ekuivalen.
Sepanjang 2021, Badan Pusat Statistik Kaltim mencatat, batu bara yang dikeluarkan dari perut provinsi ini sebanyak 294 juta ton. Apabila semua emas hitam itu diolah menjadi listrik di PLTU di negara-negara tujuan ekspor, dihasilkan 499 juta ton CO2 ekuivalen. Kaltim secara tidak langsung ikut menyumbang emisi karbon sebanyak 499 juta ton melalui batu bara yang dikonsumsi PLTU.
Apabila emisi karbon dari kedua sumber itu dijumlahkan (aktivitas pertambangan dan emisi dari batu bara untuk PLTU), Kaltim menyumbangkan 567 juta ton CO2 ekuivalen dalam setahun. Jumlah itu sangat besar dibandingkan karbon yang diserap hutan Kaltim sebesar 30 juta ton CO2 ekuivalen. Besar pasak dari tiang. Karbon yang diserap Kaltim tadi, faktanya, hanya 5,2 persen dari karbon yang diproduksi dari produksi batu bara provinsi.
Dari situlah, sebuah pertanyaan penting muncul. Mencegah atau mengobati? Jika memang serius ingin menurunkan emisi karbon, mengurangi aktivitas pertambangan dan produksi batu bara justru berdampak lebih besar.
“Sebagai perbandingan, jika mampu mengurangi 50 persen produksi batu bara saja, Kaltim ikut menurunkan 283 juta ton CO2 ekuivalen. Itu jauh lebih besar ketimbang 30 juta ton CO2 yang diserap dan menghasilkan dana kompensasi tadi,” tegas Iqin dari Walhi Kaltim. “Masalahnya, pemerintah mau serius atau tidak. Yang terlihat malah inkonsistensi (dalam upaya pengurangan emisi karbon),” sambungnya.
Ence Ahmad Rafiddin Rizal dari Dinas Lingkungan Hidup Kaltim setuju bahwa pembangkit listrik berbasis batu bara menghasilkan lebih banyak emisi karbon. Walau demikian, pemerintah provinsi disebut tak punya kewenangan mengatur produksi batu bara. Urusan-urusan tersebut kini menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Namun demikian, Rafiddin memastikan, pemerintah pusat punya komitmen mengurangi produksi batu bara. Salah satu usahanya adalah memensiunkan dini PLTU dan beralih ke energi baru terbarukan. Proyek ini akan berjalan hingga 2050. Komitmen tersebut juga telah digaungkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Bali pada 2022.
“Semua kembali ke pemerintah pusat. Kalau pusat bilang setop batu bara, ya, kami setop,” katanya.
Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan, KLHK, Erwan Sudaryanto, tak membantah perhitungan di atas. Akan tetapi, ia mengatakan, KLHK tak punya kewenangan mengurusi sektor energi. Sektor tersebut menjadi kewenangan Kementerian ESDM. Ia menyatakan, pemerintah berkomitmen mengurangi gas rumah kaca demi lingkungan yang lebih baik.
“Dari sektor kehutanan, kami punya komitmen menurunkan 150 juta ton CO2 ekuivalen sampai 2030. Kalau ada uang dari situ, itu hanya bonus,” sebutnya.
Aliran Dana Kompensasi
Kompensasi dari keberhasilan Kaltim mengurangi emisi karbon akan diberikan kepada sejumlah pihak. Salah satunya adalah desa-desa yang menjaga hutan di Kaltim. Sementara itu, bila ada jatah untuk gubernur, Isran Noor selaku gubernur menyatakan, tidak akan menerimanya. Ia akan memberikan jatahnya kepada Gubernur Kaltim 2008-2018, Awang Faroek Ishak.
Menurut Isran, Awang Faroek adalah orang yang paling berjasa menjaga lingkungan hidup Kaltim. Faroek disebut membuat sejumlah regulasi dan program yang pro-lingkungan hidup. Program Kaltim Green pada 2010 adalah contohnya.
“Zaman Pak Awang, mana ada mendapatkan uang (dari upaya pengurangan CO2). Namun sudah dibuat regulasi, mitigasi lingkungan, hingga perda perkebunan berkelanjutan,” tutur Isran. Awang Faroek yang duduk di barisan paling depan dalam lokakarya tersebut mengangguk kecil mendengarnya.
Awang Faroek, kini anggota Komisi VII DPR, memberikan sedikit nasihat. Ia menyarankan agar mekanisme pembagian dana kompensasi FCPF-Carbon Fund dibuat secara terang. Tanpa mekanisme yang jelas, pendistribusian uang rawan menimbulkan konflik. Apalagi, ada banyak pihak yang diperkirakan meminta jatah dari dana kompensasi ini.
“Saya butuh jaminan bahwa pembagian dana ini bukan hanya angin surga yang masuk telinga saya. Tapi, betul-betul diwujudkan dengan nyata untuk masyarakat Kaltim,” ujarnya. Faroek juga menganjurkan agar semua pemangku kepentingan duduk bersama mencari solusinya.
Menjawab kekhawatiran itu, Endah Tri Kurniawaty, Direktur Penghimpunan dan Pengembangan Dana, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Kementerian Keuangan; menyampaikan penjelasan. Menurutnya, para calon penerima dana kompensasi FCPF-Carbon Fund dituntut menyusun proposal. Mereka akan didampingi lembaga perantara yang ditunjuk Pemprov Kaltim. Oleh lembaga perantara, proposal akan diteruskan ke BPDLH.
“Dalam satu sampai tiga bulan ini, sudah ada proposal yang disampaikan ke lembaga perantara,” jelasnya.
Ujang Rachmad, Asisten II Sekretariat Daerah Kaltim, menambahkan, sudah dibuat sejumlah kriteria pembagian dana kompensasi FCPF-Carbon Fund. Salah satunya adalah besar-kecil kinerja desa dalam mempertahankan hutan. “Kalau tidak memenuhi kriteria, desa tidak mendapatkannya,” tambahnya.
Selain itu, pemerintah tengah menyiapkan skema perdagangan karbon untuk swasta. Perdagangan karbon adalah pembelian dan penjualan izin yang memungkinkan pemegang izin melepaskan karbon dioksida atau gas rumah kaca lainnya. Setiap negara memiliki hak mengeluarkan emisi karbon. Hak tersebut dibatasi untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup.
Negara yang memproduksi banyak emisi membutuhkan hak atau izin mengeluarkan karbon. Izin ini dibeli dari negara atau pihak yang menghasilkan emisi lebih sedikit dari ambang batas yang ditentukan. Negara atau pihak yang berupaya mengurangi produksi CO2 seperti menjaga hutan atau mengurangi pembukaan lahan dapat mengantongi izin penjualan karbon. Setiap satu izin unit karbon setara 1 ton CO2.
Regulasi yang mengatur perdagangan karbon adalah Paris Agreement, Undang-Undang 16/2016, Peraturan Presiden 98/2021, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 21/2022, PermenLHK 7/2023, dan PermenLHK 70/2017.
Rafiddin Rizal dari Dinas Lingkungan Hidup Kaltim menerangkan, perusahaan-perusahaan di Kaltim saat ini belum bisa menjual karbon. Pemprov Kaltim masih terikat dalam perjanjian FCPF-Carbon Fund. Setelah perjanjian tersebut berakhir pada 2024, perdagangan karbon dapat dilaksanakan.
“Tapi kita lihat dulu, apakah pimpinan baru nanti melanjutkan FCPF atau memberi keleluasaan terhadap entitas-entitas tertentu melakukan carbon trading,” terangnya.
Ketua Dewan Daerah Perubahan Iklim Kaltim, Profesor Daddy Ruhiyat, turut memberikan pandangan. Menurutnya, FCPF-Carbon Fund sudah bagus. Program ini terbukti efektif mengurangi emisi karbon. Hanya saja, FCPF-Carbon Fund masih terbatas di sektor kehutanan dan lahan. Emisi yang ditanggulangi terbatas di kegiatan kehutanan, perkebunan, pertambangan, perikanan, dan pertanian.
“Sementara emisi dari sektor industri, transportasi, dan limbah, belum tertangani dengan baik,” bebernya.
Profesor Daddy mendesak agar upaya penanggulangan gas rumah kaca ditingkatkan. Dampak dari gas ini sudah cukup mengkhawatirkan. Gas rumah kaca seperti uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen monoksida (N2O) telah menumpuk di atmosfer. Sinar matahari yang masuk bumi dan keluar atmosfer menjadi sangat sedikit. Pemanasan global pun muncul. Suhu udara dan air laut meningkat serta hujan turun tak tentu. Kehidupan penduduk bumi ikut terganggu.
“Kenaikan suhu juga menyebabkan ledakan penyakit dari virus dan bakteri,” tutupnya. (*)
Artikel yang ditampilkan di kandela.kaltimkece.id merupakan hasil kerja jurnalistik yang mengikuti Kode Etik Jurnalistik menurut Undang- Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Sumber literasi ialah buku, lansiran kantor berita resmi, jurnal, hasil penelitian, maupun arsip yang tidak masuk kategori dikecualikan sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi. Seluruh tulisan selalu didasari sumber yang jelas.